Menalar Menara Lonceng Yohanes Paulus II

    Menalar Menara Lonceng Yohanes Paulus II
    Drs. G.F Didinong Say, diaspora Maumere di Jakarta (foto istimewa)

    Oleh Drs. G.F Didinong Say, diaspora Maumere di Jakarta.

    SIKKA - Membangun Menara Lonceng  Yohanes Paulus II di pertigaan Madawat atau tepatnya di lokasi gerbang Stadion Gelora Samador Maumere itu sarat makna, multi interpretasi, dengan sejumlah nilai plus minus.

    Romantisme  vs Culture Shock

    Diskresi substansial pembangunan monumen menara pengingat moment kunjungan Bapa Suci Yohanes Paulus II, Pemimpin tertinggi Gereja Katolik se dunia pada tahun 1989 ke Maumere tersebut tentu berbasis pada strategi  ketahanan dan pertahanan karakter identitas masyarakat Flores dan Maumere khususnya. Gempuran  dan dampak globalisasi terhadap masyarakat, khususnya kepada generasi milenial memang seharusnya diimbangi dengan upaya penguatan melalui berbagai simbol identitas seperti Menara Lonceng Yohanes Paulus II tersebut.

    Bagi orang Flores, bunyi dentang lonceng gereja bertalu talu memanggil umat mengikuti misa atau waktu Angelus itu terdengar sungguh syahdu dan sakral. Suasana alam dan lingkungan sejenak hening  dan sakral. Hati menjadi teduh dan tenang Pikiran dan kesadaran bagai tercerahkan kembali.

    Maka gagasan membangun penanda kota Maumere terkait kedatangan tokoh kaliber pemimpin dunia yang belum tentu berulang 1000 tahun lagi itu patut untuk diapresiasi.

    Baca juga: Pura-Pura Budayawan

    Dalam konteks ini, rencana pembangunan Menara Lonceng Yohanes Paulus II di Gerbang Gelora Samador rasanya tidak pas  untuk dilihat sebagai upaya  pencitraan ataupun perwujudan suatu legacy. Warisan seorang pemimpin itu sejatinya terletak pada roh dan spirit perubahan pembangunan kehidupan masyarakat. Di sisi lain, bila dalam  proyek monumental tersebut terselip hidden agenda kepentingan politik tertentu, itu sah sah saja.

    Sakral  dan Sekuler

    Stadion Gelora Samador Madawat dalam sejarahnya semenjak didirikan di tahun 60 an pernah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan masyarakat dan pemerintah maupun gereja. Dari giat sekuler seperti kompetisi olahraga, pagelaran seni budaya dan musik, pasar malam, pacuan kuda, apel bendera dan lain sebagainya sampai dengan berbagai giat religius keagamaan seperti Perayaan Tahun Maria dan Misa Pontifikal bersama Paus Yohanes Paulus II. Memang aneh tapi nyata bahwa giat sekuler dan sakral bisa ditempatkan pada ruang yang sama.

    Justru oleh karena itu, Stadion Gelora Samador kebanggaan kota Maumere itu semestinya perlu direhab dan mendapat maintenance yang optimal. Perawatannya tidak bisa lagi dibiarkan terlantar Senin Kamis. Saat ini, kondisi stadion olahraga di Maumere sudah jauh ketinggalan dengan stadion olahraga di Kota Ende misalnya.

    Peluang dan Tantangan

    Opsi kreatif yang perlu dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan di Maumere adalah mulai menggagas pembangunan Gereja Katedral dan Stadion Olahraga secara terpisah.

    Bagaimanapun menyandingkan Menara Lonceng Yohanes Paulus II yang sakral dengan area publik sekuler itu rasanya menabrak common sense dan nurani. Semoga pembangunan Menara Lonceng Yohanes Paulus II tersebut dapat menginisiasi pembangunan Gereja Katedral keuskupan Maumere dan juga pembangunan stadion olahraga baru yang lebih berkualitas.

    polemik pembangunan menara lonceng yohanes paulus maumere ntt
    Muhamad Yasin

    Muhamad Yasin

    Artikel Sebelumnya

    Profisiat Forkot dan Media Mengawal Pembangunan...

    Artikel Berikutnya

    Kejari Harus Periksa Kabag serta Tim Verifikasi...

    Berita terkait